English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


Beli Pulsa Listrik Disini

www.opulsa.com

Cantiknya Siswi Di Kelasku

Kisah Cinta Masa Sekolah itu Cinta Monyet apa Cinta Serius Ya..... Yuk Baca Selengkapnya Disini

“Kring…kring…” terdengar suara bel keluar main. Mataku mulai merekah sebab sedari tadi otakku ingin membebaskan diri dari kenanaran pelajaran Matematika. Kutatap siswa-siswi yang berlalu lalang didepanku keluar masuk ruang kelas. Dalam keadaan setengah mengantuk aku berusaha bangkit dari tempat dudukku mencari kesegaran angin di luar sana. Tanpa sengaja mataku menatap seorang siswi yang duduk di deretan tempat dudukku kuperhatikan wajah seriusnya menghitung angka-angka Matematika yang mengerikan, menurutku. Aku mendekati siswi berambut sebahu yang duduk di bangku paling belakang itu.

     “Hai…” sapaku padanya. Dia hanya terdiam dan terus melakukan aktivitasnya; menghitung. Aku menyapanya lagi sampai tiga kali namun dia tetap saja tak menggubris sapaanku. “Kau tak ingin keluar main sekedar untuk mengisi perut?” aku mulai berani bertanya padanya. Seperti biasa dia tak memperdulikanku. Aku bertanya lagi dan lagi tapi dia tak juga melihatku, aneh sekali orang ini gerutuku dalam hati. Tak ada angin tak ada hujan dia melihatku dengan sorot mata jarum dengan maksud mengusir.

Akupun pergi dan kembali duduk di tempatku dengan  membawa sejuta rasa penasaran. Dia siswi paling aneh yang pernah aku temui sepertinya dia punya kelainan. Sejak awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran dia jarang sekali berbicara bahkan tak pernah tapi anehnya dia selalu fokus saat proses pembelajaran berlangsung dia juga jarang keluar kelas kelas waktu keluar main palingan dia hanya keluar ke perpustakaan. Aku sering melihatnya berdiam dikelas hanya untuk membaca atau menulis-nulis. Ini bukan kali pertama aku menyapanya ini sudah sering aku lakukan karena aku benar-benar ingin mengetahui banyak tentang dia. Awalnya aku tak mengetahui namanya tapi aku sempat mendengar namanya saat guru mengecek kehadiran kita, dia hanya mengangkat tangan tanpa bersuara.

     “Kring…kring…kring…” suara bel masuk. Ditengah pembelajaran jam keempat aku terus saja memperhatikan Dina; siswi aneh itu. Gadis bermata coklat itu benar-benar berkonsentrasi saat pembelajaran berlangsung tapi kenapa dia tak pernah menonjolkan kebisaannya? Dia selalu belajar sendiri.  Aku rasa ini…, “Morri ini hasil ulanganmu.” Panggil Bu Santi guru Fisika pada Morri, ini memecah lamunanku. Morri adalah siswi yang katanya tercantik dikelas rambut panjangnya selalu terurai lepas. Pertama kali aku melihatnya aku mengakui dia memang cantik tapi setelah aku tahu dia memiliki arogansi yang sangat tinggi aku menjadi tak tertarik lagi untuk mengenalnya lebih jauh. Aku duduk di bangku kedua tepat di belakangnya, jika dia ditanya kenapa dia duduk didepan oleh teman-teman yang lain dia pasti menjawab. “Itulah orang-orang cerdas dan selalu memerhatikan guru.” Huaa… sungguh aku muak mendengar keangkuhannya itu.

     “Putri, aku dapat nilai 10 loo ulangan ini.”                                              
     “O, ya selamat ya Ri…” ujarku memberikan senyuman palsu.
     “Kapan kamu bisa sepertiku? Jangan molor aja. Hahaha”
     “Hmmm… aku akan berusaha.” Suaraku menciut. Dia kembali menghadap depan. Ucapannya secara tidak langsung mengejekku, seandainya tidak ada guru mungkin…, “Dina, ini nilai ulanganmu.” Bu Santi memanggil siswi misterius itu, kuperhatikan langkah demi langkah kakinya, wajahnya kelihatan biasa dan slow. Setelah dia mengambil kertas hasil ulangan hariannya dia segera kembali ke tempat duduknya. Dia tidak pernah mempublikasi hasil ulangannya, dia sangat tertutup berbanding terbalik dengan Morri siswi angkuh yang suka pamer dan merasa tak ada yang mampu menandinginya.
                                                          ***
     Sisi kiri kananku penuh dengan tilikan puluhan pasang mata mencari-cari jawaban. Aku menoleh melihat Dina dia sedang konsentrasi menjawab permintaan soal-soal yang ada dihadapannya. Didepanku Morri mengerjakan soal dengan senyum-senyum kesombongan dengan tampang yang sok. Dia amat pintar menyembunyikan kertas contekannya, huft… Pembohong besar, pantaskah dia menjadi juara kelas seperti tahun kemarin? Penipuan nyata didepan mata semua guru yang aku ajukan pertanyaan tentang hal ini dia pasti menjawab. “Saya tahu siapa-siapa yang jujur dan yang tidak.” Aku menganggap jawaban guru itu adalah jawaban sampah, jika mereka tahu mengapa mereka masih saja menjadikan Morri juara kelas dua kali berturut-turut? Aku ingin sekali menyingkirkan gadis itu. “Kriing…kring…” terdengar bel pertanda kertas ujian harus dikumpulkan. Aku harap ujian semester ganjil tahun ini berbeda dari sebelumnya. Aku bosan melihat gadis congkak itu dari kelas 10 sampai kelas 11 sekarang ini selalu dia yang mendapat peringkat pertama Morri Morri dan Morri lagi.
                                                              ***
    Bulan Desember dimana semua siswa-siswi akan menerima raport semester ganjil kelas 10,11 dan 12. Kondisi langit yang mendung mendukung ketegangan pembagian raport. “Baiklah anak-anak sekarang ibu akan mengumumkan siapa-siapa saja yang mendapat peringkat pertama, kedua dan ketiga. Juara ketiga diraih oleh…,” keadaan kelas mulai menegang tak ada yang dapat berbicara. Hening. “…Bayu Setyo. Tepuk tangan…” tepuk tangan meriah itu terdengar. Bayu adalah murid yang baik namun dari kelas 10 peringkatnya selalu tiga. “… Juara kedua diraih oleh…,” semuanya menegang. Semua siswa sudah mulai menebak-nebak. “…Mira Marissa, Tepuk tangan untuk Mira…” Mira adalah siswi yang sederhana namun sangat disiplin dan bersih. Inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Juara pertama, ya siapa yang akan meraihnya, aku selalu berharap bukan nenek sihir itu lagi.

     “Juara pertama pasti aku yang meraihnya kamu lihat saja nanti Put.” Ucap Morri menoleh menghadapku.  Aku hampir saja menutup mulutnya dengan sepatuku andai saja bukan di sekolah. “Baiklah anak-anak inilah saat yang kita tunggu-tunggu siapa yang akan meraih juara pertama.” Semuanya mulai bungkam dan sepertinya wajah semua murid tahu bahwa Morri yang akan mendapatkannya. Namun berbeda dengan ekspresi Dina, kuperhatikan dia hanya diam menunduk di bangkunya, wajahnya nampak pasrah namun tak menyerah. “Baiklah juara pertama diraih oleh…,” siapa ya? Siapa ya? “… Dina Mutiasari… tepuk tangan untuk Dina…” aku mulai tercengang, mataku yang tadinya biasa menjadi terbelalak. Dina siswi pendiam itu meraih juara pertama, pelik. Ini sungguh mengherankan tapi disisi lain aku merasa puas melihat wajah Morri begitu kecewa dan tentunya malu habis-habisan. Dia berdiri mencoba untuk berlari membawa rasa malunya. Wajah kecewanya membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.

     “Tunggu Ri!” dia menghadapku, akupun berdiri. “Selamat atas kemenanganmu.” olokku. Dia tak menjawabku dan menepis tanganku yang ingin berjabat dengannya. Dasar anak sombong, pikirku sembari mengangkat ujung bibir kananku. Aku melihat kerumunan siswa yang merubung di bangku Dina. Bagaimana bisa dia mendapatkannya dan mengalahkan Morri?

     Aku berjalan menuju ruang guru, aku ingin sekali menanyakan pada wali kelasku kenapa peringkat pertama di raih Dina bukan Morri? Aku berjalan memegang pertanyaan itu, akhirnya aku bertemu wali kelasku setelah mengucap salam aku dengan lancarnya melontarkan pertanyaan itu dan dia menjawab. “Ibu percaya kejujuran akan selalu menang dan kecurangan akan selalu kalah. Bagi ibu Dina bukan anak yang aneh atau kelainan dia adalah siswi professional. Dia tak pernah menunjukkan kepintarannya, bahkan kesombongan tak ada dalam dirinya. Pernah suatu hari ibu bertanya padanya kenapa dia tak pernah menunjukkan kemampuannya namun dia diam saja. Bagi ibu dia adalah anak yang baik dan jujur, ibu seratus persen percaya kemenangannya adalah hasil kerja keras dia sendiri.” Sekarang aku mengerti. Aku berlari menuju ruang kelas aku ingin mengucap selamat kepada Dina. Sesampai aku dikelas aku langsung berdiri di hadapannya.

     “Selamat ya Dina…” ucapku dengan napas terengah-engah dan tangan yang ingin berjabat tapi seperti biasa dia hanya diam dan tetap memandang bukunya. Seolah-olah dia tak mendengarku. Akupun berbalik membelakanginya. Mungkin ini belum saatnya aku mengajaknya bicara, pikirku.
     “Tunggu…” panggilnya. “Terimakasih…” aku hanya mengangguk dan memberi senyum. “Kurasa kau adalah orang yang baik. Maukah kau menjadi temanku?” mimpi apa dia? ingin menjadi temanku. Ini kali pertama aku mendengar suaranya, cukup anggun dan lembut.
     “Aku punya satu syarat jika kau benar-benar ingin menjadi temanku…,” ucapku menantang. Dia melihatku dengan tatapan penasaran, dahinya mulai mengernyit dan mata coklatnya mulai bertanya-tanya.

     “Apa?” ujarnya.                                                                                                
     “Ajari aku bagaimana menjadi sepertimu!” dia tersenyum lebar dan kegirangan akupun ikut tersenyum tapi tiba-tiba senyumannya berubah menjadi sebuah tatapan mengerikan dengan sorot mata mulai menajam.
     “Tapi kau harus bayar mahal.” Katanya.
     “Baiklah. Berapa?”
     “Tidak dengan uang.”
     “Lalu apa?”
     “Kau harus membantuku menaburkan kejujuran. Kamu sanggup?”
     “Tentu saja. Hahaha…” ruang kelas tiba-tiba berubah menjadi lautan tawa kita berdua menciptakan canda dan tawa kemenangan. Rasa penasaranku terpecahkan sudah.

0 komentar:

Post a Comment